The Circling Song - Nawal El Saadawi
The Circling Song
Penulis : Nawal El Saadawi
Penerjemah : A. Rahman Zainuddin
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia (YOI)
Cetakan : Edisi Pertama, Februari 2009
Halaman : 184 halaman
Tiba-tiba saja mataku terpaku pada tumpukan novel di stan YOI sewaktu ada event Jakarta Books Fair awal bulan Juli 2009, tahun lalu. The Circling Song, sebuah judul yang menggugah keingintahuanku, seperti apakah “ lagu berputar ” itu ? Sebenarnya aku sudah bisa sedikit membayangkan “ kue “ seperti apa dan bagaimana rasanya yang ingin dibagikan oleh Nawal El Saadawi kepada para penikmat karyanya. Aku kira masih sama dengan novel-novel sebelumnya yang umumnya mengupas kebobrokan “ Tiga-Ta “ ( Harta, Tahta dan Wanita ) yang eksistensi dan fungsinya dikaitkan dengan politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Cerita novel ini bagus dan berkarakter kuat sekaligus menakutkan juga menjijikkan. Mengapa ? karena setelah aku selesai membacanya semua kejadian yang dialami oleh Hamida dan Hamido seakan tervisualisasi kembali dalam ingatan ini untuk beberapa hari kedepan dan itu lumayan menyesakkan. Nawal El Saadawi benar-benar mengagumkan dan membuatku kehilangan kata-kata. Emosiku seakan tercabik-cabik dan aku tidak bisa menceritakan kembali isi novel itu karena jujur saja aku baru satu kali membacanya dan tidak yakin tetang apresiasiku terhadap novel itu. Mungkin aku perlu waktu lagi supaya benar-benar memahami apa yang ingin disampaikan oleh Nawal El Saadawi. Sedikit stress membaca The Circling Song padahal hanya 184 halaman saja. Perjalan hidup dua anak manusia yang sarat dengan ironi dan tragedi yang terus berulang membuat aku pusing dan mual.
Menurut Nawal novel ini tercipta berdasarkan pengalaman pribadinya sewaktu mengunjungi kampung halamannya di Kafr Tahla, Mesir. Ada sebuah lagu yang menarik perhatian Nawal dan akhirnya menjadi inspirasi novel ini.
Hamida mempunyai seorang bayi,
Ia menamakannya Abd el-Samad,
Ia meninggalkan bayi itu di pinggir terusan,
Layang-layang itu menukik ke bawah dan merenggut kepalanya !
Husy ! Husy ! menjauhlah kamu !
Wahai layang-layang, wahai hidung monyet !
( balik lagi ke awal lagu )
Hamida mempunyai……
Pada waktu bermain anak-anak sering mengalunkan lagu ini dalam keriangan lingkaran, tanpa jeda dan berulang-ulang dengan nada yang monoton hingga tidak menyadari mana ujung pangkalnya.
Alkisah di sebuah desa hiduplah sepasang anak kembar yang berasal dari satu embrio, bernama Hamida dan Hamido. Kalau di Indonesia ( terutama suku jawa ) kita mengenalnya dengan istilah kembar dampit. Dan menurut tradisi jawa jika ada kembar yang demikian harus kedua anak itu harus dipisah hidupnya supaya anak itu dan keluarga terhindar dari karma ( katanya ). Hamida dan Hamido juga akhirnya hidup terpisah karena ada paksaan dari orang tuanya yang tidak ingin mengganggu ketentraman norma dan tradisi masyarakat desa itu meskipun aib yang menyelimuti Hamida bukanlah kesalahan anak itu. Salah Hamida-kah ketika suatu hari seragam sekolahnya menyempit terutama dia bagian perut ? Salah Hamida-kah ketika perutnya membesar tak wajar ? Salah Hamida-kah karena sudah mencicipi seks diusia yang sangat belia ? Aku rasa penyakit sosial ini yang umumnya diderita kaum marginal banyak terjadi dibelahan bumi manapun, begitu pula yang terjadi di Indonesia. Dan sadar atau tidak, penyakit sosial ini umumnya berdampak pada memburuknya kebahagiaan dan kesejahteraan perempuan. Hal ini sepertinya sangat sulit dikendalikan karena budaya patrilinear di masyarakat membuat perempuan seperti kehilangan hak-haknya.
Hamida dan Hamido dibuang oleh orang tuanya dalam waktu terpisah dengan menyuruh mereka untuk mengikuti kereta barang. Keduanya tiba di kota yang sama dengan takdirnya masing-masing. Terbayang bagaimana sulitnya bersahabat dengan kehidupan kota bagi dua orang anak-anak tanpa didampingi orang-orang dewasa yang telah terlebih dahulu mengenal dan memahamo dunia. Mereka terpaksa harus menjalani kehidupan yang gelap dan brutal dalam keremangan harapan. Ironi dan tragedi datang hilir mudik membetuk lingkaran yang mencekik leher mereka dan siapapun juga bahkan orang dewasa sekalipun belum tentu akan tahan menerimanya.
Baca juga : Gadis Kretek - Ratih Kumala
Sebetulnya aku sedikit bingung tentang Nasib Hamido. Dari awal cerita aku merasa Hamido dan Hamida adalah orang yang sama karena perjalanan hidup mereka hampir sama. Mungkin karena mereka kembar identik jadi apa pun yang terjadi pada hidup mereka juga tidak berbeda jauh. Tapi bisa juga ini kelihaian seorang Nawal untuk menghadirkan karakter yang sama dari yang terbelah. Atau sebaliknya…
Sekali lagi, jalan cerita yang berputar-putar membuat aku pusing dan sulit menangkap maknanya terutama soal Hamido.(warnakolamku)
Sekali lagi, jalan cerita yang berputar-putar membuat aku pusing dan sulit menangkap maknanya terutama soal Hamido.(warnakolamku)
Komentar