Seratus Tahun Kesunyian - Gabriel Garcia Marquez
Seratus Tahun Kesunyian - Gabriel Garcia Marquez
Judul : Seratus Tahun Kesunyian
Pengarang : Gabriel Garcia Marques
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Penyunting : Wendratama
Cetakan : Pertama, Mei 2007
Halaman : 547
Penerbit : Klub Sastra Bentang
Luar biasa! Begitulah kesan saya (dan juga kesan rata-rata pembaca lainnya) yang berhasil menamatkan pembacaan novel 100 Tahun Kesunyian karya pemenang Nobel sastra Gabriel Garcia Marques ini. Bukan karena tebalnya yang lebih dari 500 halaman dengan font padat dan rapat serta paragraf yang bisa satu halaman panjangnya. Bukan pula karena pohon keluarga Jose Arcadio Buendia dan Ursula Iguaran yang begitu panjang dengan penggunaan nama-nama yang berulang. Ada sesuatu yang sangat spesial dari novel ini, yang memusingkan dan ruwet. Tapi, membacanya seperti menemukan pesona luar biasa dari kepiawaian sang penulis dalam meramu cerita.
Pada garis besarnya, buku ini adalah tentang Jose Arcadio Buendia dan Ursula Iguaran beserta ketujuh generasi anak-keturunan mereka. Kisah dimulai ketika Jose Arcadio Buendia membuka kota Macondo di kawasan rawa-rawa tak terjamah—dan perkembangan kota Macondo sendiri seperti mengikuti alur dari kisah keluarga Buendia. Kegilaan Jose Arcadio Buendia terhadap mitos-mitos lama, seperti batu alkemi dan magnet, akhirnya menurun pada dua anak laki-lakinya: Jose Arcadio dan Aureliano Buendia (Mereka juga punya anak perempuan bernama Amaranta). Sementara ayahnya menjadi gila dan dikekang di bawah pohon, kedua putranya ini juga sibuk dengan kegilaan masing-masing. Baik Aureliano dan Jose Arcadio kemudian jatuh cinta pada perang dan pemberontakan. Mereka bergabung dengan gerilyawan melawan Pemerintah, dan berkali-kali mengalami ketidakberuntungan dengan obsesi mereka akan perang.
Hanya Aureliano Buendia yang bisa dibilang berhasil dalam hal ini. Ia telah menjadi semacam pahlawan kaum pemberontak dan namanya dipuja-puji puluhan tahun setelah tidak aktif lagi. Orang ini juga lebih beruntung karena berumur lebih panjang daripada Jose Arcadio dan juga berhasil “membuahi” belasan wanita sehingga ia memiliki sekitar 17 anak laki-laki beda ibu yang semuanya dengan bangga menyandang nama Aureliano. Pada akhirnya, ke-17 pemuda ini juga mengalami ketidakberuntungan, rata-rata mati muda.
Kemudian, saudaranya si Jose Arcadio memiliki istri, yakni Rebecca. Tapi, ia malah membuat keturunan bersama wanita nakal Pilar Ternera. Putranya diberi nama Arcadio. Nah Arcadio ini kemudian beristrikan Santa Sofia de la Piedad dan menghasilkan 3 anak, yakni Remedios, Aureliano Segundo, dan Jose Aureliano Segundo. Remedios ini diceritakan sebagai gadis yang sangat cantik, yang bahkan keberadaannya saja sudah cukup membuat para pria muda sakit jantung. Begitu cantiknya sampai alam pun jatuh hati dan mengambilnya. Suatu siang, ia dibawa terbang oleh angin saat tengah membawa selendang jemuran (????). Aureliano Segundo rupanya menuruti jejak ayahnya. Ia juga terlibat dalam perang dan kemudian (sebagaimana lainnya) gugur. Tapi, ia sempat beristrikan Fernada yang kemudian memberinya tiga anak. Sementara, anak ketiga dari pasangan Arcadio + Santa Sofia de la Piedad, yakni Jose Aureliano Segundo entah nasibnya bagaimana saya lupa dan tidak mampu melacaknya.
Lanjut ya, Aureliano Segundo dan Fernanda punya tiga putra, walaupun pada kenyataannya Fernada sendiri yang membesarkan ketiganya karena suaminya yang terobsesi perang akhirnya ditembak atau kalau ngak dieksekusi. Tiga putra ini adalah Jose Arcadio (yang kemudian disekolahkan ke Roma agar bisa menjadi Paus tapi sialnya ia malah jd gelandangan dan kembali ke Macondo hanya untuk ditenggelamkan oleh remaja-remaja berandalan yang hendak merampok harta karun temuannya), Renata Remedios (yang disekolahkan ke sekolah Katolik tapi akhirnya hamil di luar nikah dan akhirnya diasingkan oleh Fernanda ke biara yang jauh), dan Amaranta Ursula (mungkin satu-satunya anak wanita keluarga Buendia yang benar-benar berhasil menikah dan menjadi wanita terhormat). Renata Remedios meninggalkan anak dari hubungan di luar nikahnya dengan seorang pekerja kayu muda (yng juga mati muda). Anak itu dinamai Aureliano dan dirawat oleh Fernanda dan sampai besarnya ia menjadi seorang kutu buku yang suka mengurung diri di kamar rahasia milik kakek buyutnya, Jose Arcadio Buendia. Sementara, Amaranta Ursula yg berhasil menikah dengan orang Eropa akhirnya juga memiliki bayi laki-laki yang dinamai dengan …errr… Aureliano.
Pada akhirnya, trah keluarga Buendia pun menghilang seiring dengan kegilaan-kegilaan serta ketidakberuntungan mereka. Aureliano (anak dari Meme/Renata Remedios) adalah satu-satunya keturunan yang menyaksikan sisa-sisa terakhir dari keluarga Buendia menghilang sebagaimana kata ramalan. Ketika Amaranta Ursula meninggal saat melahirkan Aureliano (bayi), maka Aureliano yang kutu buku (halah bingung!) kalut dan pergi menyusuri kota Macondo yang juga kian kumuh dan lesu seiring dengan habisnya generasi ketujuh keluarga Buendia. Ketika ia kembali, Aureliano dewasa menyaksikan sendiri Aureliano bayi digondol kawanan semut sebagaimana kata ramalan. Ia sebagai keturunan terakhir, menjadi saksi habisnya kota Macondo yang setelah itu tersapu bersih oleh angin puyuh dan kemudian hilang dalam ingat orang-orang. “Karena ras-ras manusia yang dikutuk selama seratus tahun kesunyian tak punya kesempatan kedua di muka bumi ini.” (hlm 547)
Anda pusing? Jangan khawatir karena saya sendiri kadang pusing mengingat nama-nama keluarga Buendia yang hampir mirip. Kelakuan mereka—terutama kaum prianya—juga mirip sehingga ujung-ujungnya mereka habis dalam cara yang cukup tragis. Satu-satunya pria yang agak waras mungkin Aureliano yang putranya Meme. Sementara, topang utama dari keluarga itu sesungguhnya adalah Ursula, yang sejak masa ketika suaminya Jose Arcadio Buendia menjadi gila, menjadi sati-satunya orang waras di rumah itu. Dengan segala kegilaan dan absurbitas dalam cerita ini, tidak heran jika 100 Tahun Kesunyian memang masuk sebagai buku yang sulit dipahami. Jangankan saya, Wikipedia saja memberikan definisi yang njilmet untuk novel ini:
“Cerita ini jelas mengandung kenyataan yang magis, namun lebih dari itu, karena juga merupakan sebuah refleksi filsafati tentang hakikat waktu dan keterasingan. Sejumlah kritikus mengatakan bahwa buku ini kurang mengandung sifat cerita rakyat, yang merupakan prasyarat dari realisme magis, karena itu tidak dapat dikategorikan demikian…. Nilai novel ini terletak bukan hanya dalam penggunaan realisme magis yang inovatif, tetapi juga penggunaan bahasa Spanyolnya yang indah. Buku ini adalah sebuah tulisan epos yang merentang selama beberapa dekade dalam kehidupan sebuah keluarga yang besar dan kompleks.”
Sepenangkapan saya, penulis menggunakan novel ini untuk mengkritik munculnya kerajaan-kerajaan atau negara-negara baru di kawasan Amerika Selatan dan Tengah selepas perang dunia pertama. Di mana, banyak dari negara-negara itu dipimpin oleh tiran yang gemar berperang dan mabuk kekuasaan. Sebagaimana nasib keluarga Buendia dan kota Macondo yang akhirnya habis, mereka yang terobsesi pada perang, kekuasaan, dan kesenangan duniawi (dalam novel ini dilambangkan oleh seks dan wanita) pada akhirnya akan hancur.
Ditambah dengan segala absurbditasnya, novel ini memang luar biasa jika dibaca oleh orang yang tepat, yang akan mampu lebih memahami berbagai perumpamaan dan maksud dari sang penulis. Sayangnya, saya hanya baru bisa sampai para tahap menikmati, belum bisa menemukan permata-permata kebijaksanaan itu. Pembaca yang lebih cerdas pasti akan menemukan banyak harta dan kebijaksanaan dari novel ini. Sebagaimana kata penjual buku dari Catalan yang menjadi langganan dan teman dari Aureliano.
“Dunia ini tentu sudah bobrok. Ketika orang bepergian dengan kereta kelas satu, tetapi kesusastraan diperlakukan seperti barang.” (hlm 525)
Ada banyak sekali kejadian tidak masuk akal dalam keseharian keluarga ini, yang seolah merupakan sesuatu yang bias. Benar-benar absurb kalau kita mempertanyakan ini dan itu saat membaca novel berat ini. Dinikmati saja, biarkan cerita mengalir dengan sendirinya, itulah kunci untuk bisa merampungkan pembacaan novel luar biasa ini. Saya mampu bertahan menyelesaikan novel berat ini salah satunya karena terhemahan Nin Bakdi Soemanto yang luar biasa menawan, luwes, dan indah. Bahkan dengan mengabaikan ceritanya yang absurb, saya masih bisa menikmati keindahan detail dan kelancaran bercerita dari penulis aslinya. Salut untuk penerjemahnya.
Sumber : dionyulianto
Selamat membaca!***
Komentar