Orang-orang Terbungkam - Albert Camus
Orang-orang Terbungkam - Albert Camus
Judul: Orang-orang Terbungkam
Judul dalam Bahasa Inggris: Exile and the Kingdom
Penulis: Albert Camus
Penterjemah: Anton Kurnia
Tahun Terbit: 2002
Penerbit: Jendela Grafika Tebal: xiv + 197
ISBN: 979 - 95978 - 35 -X
Membaca Albert Camus bagiku adalah sebuah perjuangan. Pertama, saya membaca karya-karya beliau yang sudah dua kali dialihbahasakan. Saya tidak bisa berbahasa Perancis, bahasa Inggriskupun pas-pasan. Kesempatanku berkenalan dengan Camus hanyalah melalui buku-buku terjemahan karya beliau dalam Bahasa Indonesia. Karya terjemahan dalam Bahasa Indonesia biasanya diterjemahkan dari karya dalam bahasa Inggris. Padahal Camus menulis dalam bahasa Perancis. Artinya saya membaca hasil kunyahan setidaknya dua orang. Belum lagi kalau terjemahannya jelek.
Meski saya menikmati karya-karya beliau dalam bahasa Indonesia, namun saya tetap mendapatkan kenikmatan. Tulisan-tulisan Camus kaya detail. Ia seperti menjejer foto-foto yang didapatinya dan menuangkannya dalam sebuah kisah. Bahkan sering kali – kalau saya lengah, detail dari kisahnya membuat saya tersesat dan kehilangan arus utama tulisannya. Membaca Camus bagi saya adalah berlatih untuk kuat memegang arus kisah dan sekaligus menikmati labirin-labirin detail.
Hal kedua yang saya dapat dari Camus adalah tentang absurditas. Dari beberapa karya yang saya baca, tema absurditas begitu kuat. Manusia itu absurd. Manusia hanya mengulang apa yang sudah digariskan oleh takdir – seperti Sisifus. Tak bisa menyimpang ke kiri atau ke kanan. Tak bisa menyimpang ke bawah atau ke atas. Semuanya absurd dan tak ada artinya. Meski demikian Camus memberikan resep bagaimana manusia bisa menikmati hidupnya yang absurd tersebut. Cara satu-satunya adalah dengan memberontak terhadap nilai-nilai. Termasuk bunuh diri.
Dalam kumpulan cerpen ”Orang-Orang Terbungkam” tema absurditas begitu menonjol. Namun gagasan yang disampaikan oleh Camus bagi manusia-manusia yang terbungkam ini bukannya memberontak melalui bunuh diri. Ia menawarkan sebuah jalan keluar lain, yaitu mengabaikan keadaan. Atau mengasingkan diri dari keadaan dan masuk ke dalam keterbungkaman. Keterbungkaman adalah sebuah kemerdekaan. Mereka yang terbungkam tidak lagi harus mengikuti arus utama pengharapan manusia. Pengalaman menghadapi sebuah saat yang tak lagi mampu ditanggung oleh manusia, membawanya kepada sebuah sikap masa bodoh. Sikap menerima, atau lebih tepatnya abai terhadap apa yang dialaminya. Namun saat menyadari bahwa abai terhadap segala pengharapan itulah, manusia bisa menjalani hidupnya dengan gembira. Sebuah paradoks.
Dalam cerpen ”Perempuan Tak Setia” Camus menggambarkan harapan-harapan yang biasanya muncul dalam perjodohan. Pasangan yang saling mencintai, saling membantu dan menumbuhkan adalah beberapa hal yang mesti ada dalam pasangan. Setidaknya demikianlah yang seharusnya dicita-citakan. Namun ada juga alasan lain untuk mencari pasangan, yaitu ketakutan tentang nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Janine, tokoh utama dalam cerpen ini adalah salah satunya. Ia meragukan bahwa ia mencintai lelaki yang sekarang menjadi suaminya. Ia menikahi seorang lelaki yang begitu peduli kepadanya. Bahkan suaminya telah menyiapkan segala sesuatunya untuk masa depannya apabila tiba-tiba si lelaki tersebut meninggal dunia.
Dalam sebuah perjalanan mengikuti Marcel – suaminya, Janine menemukan sebuah pencerahan. Perjalan ke tempat yang sama sekali tak dipahaminya itu membawa sebuah perenungan. Ia bertemu dengan sekawanan orang Arab yang tak memiliki apa pun tapi tak melayani siapa pun, melarat tapi merdeka dari raja-raja (hal. 18). Saat ia kedinginan dan demam, sementara suaminya tertidur lelap, Janine mendapat pencerahan, yaitu menerima dirinya apa adanya. Ia tidak lagi setia kepada harapan-harapan tentang bagaimana pasangan yang seharusnya.
Dalam cerpen kedua ”Sang Pembelot” Camus berkisah tentang bagaimana seorang misionaris disiksa supaya mau menyembah berhala di padang pasir Afrika. Ia bertahan dengan iman bahwa ia sedang menjalankan kebaikan dari Tuhan. Sampai akhirnya ia harus menerima sang berhala sebagai tuhannya. Ia sampai kepada kesimpulan bahwa kejahatan yang mampu mencapai batas-batasnya secara mutlak dan kebaikan adalah sebuah mimpi yang menyimpang (hal. 44). Perjuangannya untuk tetap beriman untuk menyebarkan kebaikan melawan siksaan yang begitu tak terperi adalah sebuah perjuangan tersendiri.
Cerpen ketiga berjudul ”Orang-orang Terbungkam.” Judul cerpen ini dipakai sebagai judul buku dalam versi Bahasa Indonesia. Cerpen ini berkisah tentang Yvars yang menjalani hidupnya secara rutin. Setiap pagi pergi ke kantor, melewati jalan yang sama. Memandangi pemandangan yang sama. Setelah pulang kantor ia bertemu dengan kebiasaan yang sama dengan istrinya. Sampai suatu hari ia terlibat dalam pemogokan buruh yang gagal. Ia terombang-ambing antara terus memperjuangkan tuntutan para buruh atau menerima tawaran dari atasannya untuk naik jabatan. Yvars menyadari dirinya menjadi orang yang betul-betul terbuang. Terbungkam. Terbungkam oleh harapan-harapan dari pihak luar. Yvars memilih untuk dirinya sendiri, yaitu kembali bekerja secara rutin tanpa mau melaksanakan harapan buruh maupun tawaran atasannya. Ia menikmati hidupnya yang rutin apa adanya.
Pada cerpen keempat, Camus bercerita tentang Daru. Daru adalah seorang guru yang tanpa sengaja mendapatkan titipan seorang tahanan beretnis Arab. Tidak ada tuduhan yang jelas mengapa si Arab ditahan. Balduci, sang polisi tua yang membawanya hanya menjelaskan bahwa kemungkinan si Arab melakukan pembunuhan kepada keluarganya. Daru menjadi orang yang tak berdaya karena secara tiba-tiba mendapatkan tugas yang sama sekali tak diharapkannya. Malam itu Daru harus tinggal bersama dengan orang Arab yang harus diserahkannya ke pihak berwajib. Ia gelisah karena takut orang Arab itu melarikan diri atau bahkan mencederainya. Ia berkehendak untuk melepaskan si orang Arab tersebut. Ia memberinya bekal. Tapi ternyata orang Arab itu secara sukarela menyerahkan diri ke penjara. Tapi... di bagian belakang papan tulis yang biasanya dia pakai untuk mengakar murid-muridnya, di stuatu hari, terdapat tulisan "Kau telah menyerahkan saudara kami. Kau akan membayarnya (hal. 93)."
Baca juga : Sampar - Albert Camus
Baca juga : Sampar - Albert Camus
Cerpen kelima berkisah tentang Sang Pelukis. Sang Pelukis yang awalnya melukis untuk kesenangannya, akhirnya harus hanyut kepada harapan-harapan mereka yang mengaguminya. Ia harus menuruti apa yang diinginkan oleh para pengagumnya. Sampai suatu saat, para pengagumnya telah bosan. Dan...Sang Pelukis menghadapi situasi di mana ia menjadi orang yang tidak dibutuhkan lagi. Ia kehilangan jati diri. Ia berupaya untuk bisa melukis lagi, namun tak kunjung berhasil. Sampai suatu hari ia jatuh sakit. Yang tertinggal di studionya adalah kanvas kosong dengan hanya ada tulisan soliter atau solider yang kurang jelas (hal. 143).
Cerpen keenam berjudul ”Batu yang Tumbuh.” Cerpen ini berkisah tentang D’Arrast dan batu besar dan segala absurditas yang dihadapinya.Sumber : indonesians.
Selamat membaca!***
Komentar