Ibuk - Iwan Setiawan

PEI Ibuk



Ibuk
     Tinah, seorang gadis putus sekolah. Seorang gadis yang hidupnya tidak pernah pergi dari Gang Buntu, Batu, Malang. Seorang gadis yang lugu, berambut panjang tanpa poni, berkulit kuning langsat, mata sesegar pagi di kaki Gunung Panderman dan wajah yang sederhana namun menenangkan.
Ketika usianya menginjak 16 tahun, Tinah diajak untuk membantu neneknya, Mbok Pah untuk berjual baju bekas di Pasar Batu. Mbok Pah mempunyai kios di Pasar Batu dan berharap Tinah dapat menggantikannya nanti. Di pasar, Tinah jarang bergaul. Padahal, wajah Tinah yang tenang dapat membuat siapa saja yang melihatnya langsung suka. Seperti Cak Ali, penjual tempe yang kiosnya bersebelahan dengan kios Mbok Pah. Sebelum pulang, Cak Ali sering memberikan tempe kepada Tinah, Tinah juga sering mengantarkan sarapan masakannya sendiri kepada Cak Ali. Namun, belum ada ikatan apapun diantara mereka meski Mbok Pah sudah mengetahuinya dan tidak keberatan.
Umur Tinah kini 17 tahun, Mbok Pah mewanti-wanti Tinah untuk segera berumah tangga. Mbok Pah malah berniat menjodohkannya dengan Cak Ali, Tinah hanya menunduk malu. Tetapi keliru, bukan Cak Ali yang berhasil memikat hati Tinah, melainkan seorang playboy pasar yang hanya seorang kenek angkot. Seorang pemuda berusia 23 tahun. Matanya melankonis tapi tajam, badannya tidak tinggi tapi gagah, gayanya flamboyan dengan alis tebal dan bibir penuh. Abdul Hasyim namanya. Pemuda yang dekat dengan semua orang di pasar dari ibu-ibu sampai preman pasar. Ketika Sim menyapa Mbok Pah, matanya yang melankonis bertemu dengan mata Tinah yang menenangkan. Sim terseret dengan keluguan di wajah Tinah. Pandangan keduanya saling membekas di hati masing-masing. Esok paginya, kala Sim berjalan menuju warung langganannya matanya bertemu tatap dengan Tinah, seolah berbicara lewat mata.
Namun malam harinya, entah tahu dari mana Hasyim menemui Tinah di rumahnya. Mbok Pah yang ikut menemani undur diri. Kini tinggal Tinah dan Sim yang mengobrol ditemani teh hangat yang Tinah buat. Obrolan mereka bergulir pada asal-usul Sim yang hanya diasuh oleh orang tua angkat dan sudah meninggal lama, sementara Sim belum pernah mengetahui bagaimana rupa orang tua kandungnya di Yogyakarta. Sekarang Sim ikut kakak perempuannya dan ikut membantu kakak iparnya menjadi kenek angkot. Sebelum Sim pamit, Sim meminta izin untuk datang lagi besok menemui Tinah. Ada kehangatan yang tertinggal di ruang tamu. Sim ingin menemui Tinah lagi.
Semua berjalan seperti biasa. Cak Ali masih memberikan tempe kepada Tinah meski Cak Ali tahu, playboy kampung telah memenangkan hati Tinah. Hubungan Tinah dan Sim terus berkembang, terjalin semakin erat. Kemarin Sim mengajak Tinah untuk menonton layar tancep dan berjalan-jalan dengan angkotnya. Maka berlabuhlah cinta mereka berdua. Orang tua Sim datang untuk melamar Tinah dan memutuskan tanggal untuk pernikahan mereka yakni bulan depan. Tepat satu minggu sebelum Tinah melangsungkan pernihakan, Mbok Pah meninggal dunia karena sakit. Tinah merasa terpukul namun pernikahan tetap mereka gelar. Kini, Tinah dan Sim tinggal bersama keluarga Mbak Gik, kakak perempuan Sim.
Waktu berjalan begitu cepat, kini keluarga Sim dan Tinah dikaruniailima buah hati. Empat perempuan dan satu laki-laki.Anak sulung perempuan bernama Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Bayek adalah satu-satunya anak laki-laki yang begitu dibanggakan oleh Sim. Bapak dan Ibuk (Sim dan Tinah) pindah ke rumah baru mereka sejak kehamilan Rini. Rumah yang dibangun Bapak dengan penuh keringat, walaupun kecil asal bisa untuk berpulang dan berteduh, mereka sangat menikmatinya.
Bapak dan Ibuk sangat memperhatikan gizi dan pendidikan anak-anaknya kelak. Maskipun Bapak hanyalah seorang supir angkot, tapi Bapak dan Ibuk ingin anak-anaknya sekolah setinggi-tingginya. Tidak seperti Ibuk yang hanya SD tidak tamat, bukan juga seperti Bapak yang hanya sampai SMP saja. Tetapi, mereka ingin melihat anak-anaknya berkuliah dan mendapat pekerjaan yang kepenak. Tidak seperti mereka.
Isa, Nani, Bayek dan Rini kini bersekolah, kecuali Mira karena jarak umurnya cukup jauh dengan kakak-kakaknya. Mereka berempat adalah anak yang pintar di sekolah. Mereka adalah yang selalu masuk ke dalam jajaran 10 besar di sekolah. Biaya makan sehari-hari sampai biaya SPP keempat anaknya, Ibuk sangat bijak dalam mengaturnya.
Isa, Nani, Bayek dan Rini mengerti bagaimana keadaan keluarga mereka. Mereka juga bisa prihatin. Mereka akan meminta sesuatu jika mereka memang butuh. Khususnya Nani, dia adalah putri yang paling tabah. Bukan berarti yang lainnya tidak demikian. Ketika sepatu mereka rusak, dan memang sudak benar-benar rusak terkonyak. Ibuk menyisihkan uang untuk membelinya, jika tidak cukup maka Ibuk akan meminjam pada Mang Udin, tukang kredit yang sering mengunjunginya. Dari Mang Udinlah Ibuk membeli segala peralatan dapur hingga peralatan mandi, dengan kredit tentunya.
Isa akan masuk ke SMP, Ibuk semakin irit menggunakan uang yang Bapak berikan. Impian Ibuk yang ingin menyekolahkan anak-anaknya hingga ke Perguruan Tinggi harus tercapai. Setelah Ibu berhasil meminta surat keterangan kurang mampu di kantor kelurahan, Isa dapat bersekolah di SMP. Seperti itu seterusnya, hingga mereka dapat melanjutkan ke jenjang SMA. Isa, Nani, Banyek , Rini dan kini Mira sering mengerjakan tugas bersama-sama. Tak ada meja belajar. Isa adalah guru yang handal bagi mereka. Mereka sering berkumpul di ruang tamu sambil makan pisang goreng buatan Ibuk. Satu pisang untuk satu orang. Terkadang mereka hanya memakan setengah sedang setengahnya mereka sisakan untuk nanti malam, begitu pun jika Ibu membuat empal goreng juga ketika Bapak membawa pulang roti coklat. Mereka membagi rata. Seperti telur dadar yang dipotong sesuai dengan jumlah mereka. Keluarga mereka hidup dalam kesederhanaan dan penuh keprihatinan, tidak ada diantara mereka yang mengeluh. Mereka terus berjuang untuk mendapat kelayakan hidup.
Dulu, ketika Bapak dan Ibu membangun rumah. Mbah Carik pernah berkata kepada Ibu bahwa anak lelaki dalam keluarganya akan mengubah nasib mereka, mengantarkan keluarga mereka menuju kebaikan dan kesejahteraan. Ibu hanya mengucapkan terima kasih kepada Mbah Carik. Benarkah Bayek, anak laki-lakinya akan membawa harapan bagi keluarganya? Semoga saja. Mbah Carik adalah nenek yang terkenal di kampungnya. Nenek yang sangat disegani oleh penduduk setempat. Tak jarang jika ada yang sakit, mereka beminta Mbah Carik untuk mengobatinya. Begitu pun Bayek, ketika Bayek mati suri, Ibuk membawanya ke Mbah Carik.
Bayek adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarga mereka. Dialah anak kebanggaan Bapak. Bayek adalah anak yang pintar di sekolahnya, Bayek selalu pendapat peringkat lima besar di sekolahnya. Bayek juga prihatin terhadap keadaan keluarganya. Namun, Bayek adalah anak yang penyendiri, ia tidak terbiasa hidup jauh dari keluarganya. Bayek juga sangat menyayangi kakak-kakak dan adik-adiknya. Bayek berjanji untuk membahagiakan Ibunya. Bayek juga berjanji untuk membahagiakan saudara-saudaranya.
Beberapa tahun pun  berlalu, Isa sudah lulus SMA dan Isa kursus komputer di Malang dan memberikan les privat di Batu. Isa juga yang membantu biaya kuliah Nani di Universitas Brawijaya. Isa rela menjadi jembatan bagi adik-adiknya. Ibu merasa sedih karena Isa belum berhasil kuliah. Dua tahun kemudian Bayek lulus SMA dan mendapatkan PMDK di IPB jurusan statiska. Bayek akan pergi kuliah. Namun keraguan menyelimuti hati Bayek, bagaimana cara dia ke Bogor.
Akhirnya, keputusan Bapak mengejutkan mereka semua yang sedang berkumpul di ruang tamu. Bapak akan menjual angkotnya, menjual angkot yang Bapak beli dengan susah payah menyisikan untuk membelinya. Semuanya bertanya, jika angkot itu dijual mereka akan makan apa, tapi Bapak akan bekerja menjadi supir truk di tetangga sebelah. Dengan berat hati, semua melepas kepergian Bayek untuk berkuliah di Bogor. Ibu sangat khawatir pada Bayek. Bayek tidak pernah tinggal sendiri. Tapi, semua meyakinkan bahwa Bayek pasti akan bisa bertahan.
Sejak mereka SD Hingga sekarang, mereka tidak lupa untuk meminta doa dari Ibuk, doa Ibuklah yang menjaga mereka, mengantarkan mereka pada keberhasilan. Ketika ujian, ketika akan berangkat ke sekolah, berangkat ke suatu tempat. Setiap waktu, mereka selalu dijaga oleh doa Ibuk.
Selama empat tahun Bayek menyimpan kerinduan, kini Bayek lulus bahkan menjadi lulusan terbaik. Ibu dan Isa yang menghadiri upacara wisuda Bayek merasa sangat bangga dan bahagia. Bayek maju ke atas panggung disaksikan ribuan wisudawan. Dalam langkahnya, Bayek ingin berkata bahwa angkot yang mereka jual tidak kemana-mana karena itulah investasi untuk hidup mereka. Angkot yang dijual adalah hidup mereka.
Bayek kini sudak bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Ketika Bayek stresskarena pekerjaan menumpuk juga merasa sangat lelah, Bayek akan menelpon Ibuk. Suara Ibu memberikan kesejukan bagi Bayek. Semenjak menerima gaji pertama, Bayek rajin mengirim sedikit dari penghasilannya untuk membantu keluarga di Batu.
Cahaya mulai menerangi rumah Ibuk. Isa masih memberikan les privat. Rini bekerja membantu adik Ibu yang bidan desa. Nani bahkan bisa melanjutkan S2nya. Sedangkan Mira kecil sudah kelas 2 SMA.
Di hari pertama kerja, Bayek mengingat perjuanagn Bapaknya yang hanya lulusan SMP. Pertama Bapak bekerja sebagai kenek angkot, lalu menjadi supir angkot. Tak cukup baginya untuk menjadi supir angkot untuk orang lain, Bapak pun membeli angkot bekas. Bapak tidak pernah berhenti berjuang untuk menghidupi kelima anaknya. Bapak selalu memikul tanggung jawab dengan berani, itu yang menginspirasi Bayek untuk selalu maju. Demikian juga Ibuk. Perempuan yang sangat bijak serta tabah. Yang rela memberikan obat kepada anak-anaknya yang sakit tetapi hanya obat alam yang dia berikan untuk dirinya sendiri. Memberi anak-anaknya makan dahulu, baru dia makan yang ada. Melihat anak-anaknya bahagia adalah kebahagiaannya yang tiada tara.
Tiga tahun bekerja di Jakarta, Bayek mendapat tawaran untuk bekerja di New York. Bayek tidak melewatkan kesempatan yang akan memabawa keluarganya di Batu menuju kehidupan yang lebih baik. Inilah awal karirnya. Tak lupa Bayek meminta doa kepada Ibunya. Setelah sampai di apartemen, Bayek memberikan kabar kepada Ibunya di Batu. Bayek tinggal di apartemen milik Mbak Ati, di Westcheste Avenue. Mbak Ati juga yang membuka jalan untuk Bayek menuju New York. Mbak Ati membimbing Bayek dalam bekerja juga mengajak Bayek untuk mengenal New York, tempat tinggal Bayek yang baru.
Bayek sangat merindukan Indonesia, merindukan Kota Batu. Apalagi, Isa kakak sulungnya akan menikah. Bayek mengikuti upacara pernikahan lewat telepon. Bayek dan empat saudara perempuan, hidup dalam satu hati empat detak jantung, dalam satu garis perjuangan. Kebahagiaan Isa adalah kebahagiaan Bayek. Air mata Bayek adalah air mata Isa. Mereka saling menguatkan perjalanan masing-masing.
Sudah tiga bulan Mbak Ati membimbing Bayek. Mbak Ati berencana untuk pindah ke Australia. Setelah Mbak Ati pindah, Bayek memulai hidup baru, sendiri. Di musim dingin. Bayek masih mendapat kendala dalam pekerjaannya yaitu kendala bahasa. Bayek berikrar untuk memperbaiki Bahasa Inggrisnya, Bayek sering menonton TV, belajar mendengarkan percakapan dan berita Bahasa Inggris.
Di bulan keempat, Bayek mendapat penghargaan “Employee of the Month” di rapat mingguan bersama semua rekan kantornya. Bayek mentransfer sejumlah uang ke Indonesia untuk bayar hutang ke Tante Bewah, uang yang Bayek pakai untuk berangkat ke New York. Sisanya, untuk Bapak dan Ibu. Rasa percaya diri Bayek pun mulai tumbuh. Di bulan ke delapan Bayek mendapat penghargaan yang sama. Rekan-rekan kerja Bayek pun dapat melihat kehandalan Bayek dalam mengolah data meskipun Bahasa Inggrisnya kurang lancar. Di tanggal 4 juli 2001 Bayek dirampok ketika memasuki stasiun kereta api Fleetwood di Westchenster. Belum cukup, salah satu tower di World Trade Center telah ditabarak pesawat. Kejadian itu langsung menggemparkan seluruh dunia. Bayek mencoba menelpon keluarganya di Batu agar mereka tidak khawatir karena jarak kantornya ke WTC jauh, tapi jaringan komunikasi telah terputus. Setelah jaringan telpon kembali normal, Bayek langsung menelpon keluarga di Batu.
Setelah kejadian yang terjadi di WTC, Bayek kembali menyusun hatinya. Di ­winter kedua, Bayek mentransfer uang kepada Ibu, kali ini untuk membayar hutang kepada Lek Tukeri untuk biaya kuliah dan sisanya untuk biaya kuliah Mira dan nabung untuk membuat rumah mereka nanti. Hutang mereka telah lunas semua, mata Ibu dan Isa sampai berkaca-kaca.
Bayek kembali mendapat promosi sebagai Data Processing Executive lalu menjadi Manager Data Processing Executive. Dari hasil jerih payahnya, Bayek membangun rumah mereka yang dulu menjadi rumah yang berwajah baru. Rumah berlantai dua dengan empat kamar tidur. Sekian waktu berselang, Bayek juga membelikan rumah untuk, Isa, Nani, Rini dan Mira yang ada di Karawang. Misi Bayek terselesaikan. Isa juga sudah bisa melanjutkan kuliah. Semua kakak dan adiknya sudah berkeluarga. Bapak dan Ibu sekarang bisa bernafas lega. Bayek pun kembali ke Indonesia. Mencari aktivitas baru yaitu menulis buku.
Bayek belum mau kembali ke dunia korporat untuk mengolah data meskipun banyak tawaran yang Bayek terima. Bayek ingin mengabdi dulu lewat tulisan agar kelak ada Bayek-Bayek lain lahir. Kini Bayek banyak menghadiri talkshow. Jika Bayek harus pergi keluar kota, Bapak akan setia mengantarnya ke Bandara menggunakan mobil panternya, anaknya yang ke enam.


Lambat laun kondisi Bapak memburuk. Bapak sering sakit-sakitan dan itu membuat semuanya khawatir. Bapak yang dulu sehat, sering membantu Ibu memasak, mengantarkan cucu-cucunya ke sekolah, membersihkan got di jalan, berkebun, mengepel rumah, dll. Kini terbaring tak berdaya di tempat tidur. Sudah banyak obat yang Bapak konsumsi, Bapak juga rajin melakukan terapi.  Dokter pun bilang bahwa organ Bapak sudah berfungsi dengan normal. Tetapi, badan Bapak masih tersa lemas. Ibuk merawat Bapak dengan penuh kasih sayang.
Ketika kondisi Bapak mulai membaik, Bayek pamit untuk ke Jakarta menghadiri talkshow yang tidak bisa Bayek batalkan. Bayek pergi dengan penuh kegundahan. Bayek sempat mengunjungi Mira yang ada di Karawang. Bayek berencana pulang pada hari sabtu bersama Mira untuk menjenguk Bapak. Namun, sekitar pukul 2.30 malam, Rini menelpon Bayek menyuruhnya untuk segera pulang, Bapak.... telah tiada. Bayek langsung menghubungi Mira dan Bayek langsung ke Bandara mencari penerbangan paling pagi. Rini langsung menelpon Isa dan Nani. Nani segera ke rumah sakit. Banyak pelayat yang datang ke rumah. Mereka berkata bahwa Bapak adalah sosok yang sangat baik. Bapak bahkan pernah mengajari Lek Giono menyetir. Ibuk, Isa, Rini, Bayek dan Nina bersedih, tidak, semuanya turut sedih, berkabung. Mira masih dalam perjalanan. Hanya Nina yang masih nampak tabah mengabadikan kepulangan bapak lewat kamera mungilnya. Sesekali air mata tumpah membasahi pipinya.
Ibuk sendiri di rumah, anak-anak dan cucu-cucunya sering menengok ke rumah agar Ibuk tidak kesepian. Sebuah foto ukuran 60 cm X 50 cm dengan pigura berwarna emas terpajang di ruang tamu. Ibu, tidak lagi kesepian. Rasa rindunya langsung lenyap kala memandang foto Bapak. Itulah cinta Ibuk, cinta tulus Ibuk pada sang playboy pasar.(ragambahasakita)


PEI download

Selamat membaca!***

Komentar

Popular Post

Dunia Kafka karya Haruki Murakami

A Man Called Ove - Fredrik Beckman

Nagasasra dan Sabuk Inten - SH Mintardja