Catatan Dari Bawah Tanah - Fyodor Dostoyevski

Catatan Dari Bawah Tanah - Fyodor Dostoyevski

“Aku orang sakit, aku orang pendendam. Aku orang yang tidak menarik. Aku yakin hatiku mengidap penyakit. Sungguh pun begitu, aku tidak tahu apa-apa tentang penyakitku dan tidak tahu pasti penyakitku sebelumnya”
(Dostoyevski 2016, bagian I).

Selama tujuh tahun saya belajar tentang politik Rusia, baru kali ini mendapatkan kesempatan untuk mencicipi kesusastraanya lewat tulisan Fyodor Dostoyevski. Bagi saya pribadi, ini adalah suatu keistimewahan tersendiri. Saya jarang sekali menemukan tulisan-tulisan tentang Rusia baik dalam topik politik maupun sastra yang ditulis langsung oleh orang Rusia. Kebanyakan yang saya temui justru ditulis oleh penulis dari luar Rusia. Mungkin terdapat keterbatasan akses dan juga penerjemahan dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, sehingga sangat sukar menjumpai buku-buku tentang Rusia di toko buku.

Catatan dari bawah tanah merupakan buku yang rumit sekaligus buku paling gelap yang pernah saya baca. Pasalnya isi ceritanya banyak membicarakan tentang keputus asaan dan kemarahan seseorang terhadap kehidupan yang ia jalani dan lingkungan yang ia tinggali. Menurut saya pribadi, novel ini berhasil menyelami relung-relung kehidupan yang sangat dalam dan sensitif yang selama ini tidak pernah tersentuh sekaligus terbayangkan sebelumnya.  Fyodor Dostoyevski (penulis) telah berhasil menciptakan seorang tokoh yang memiliki kehidupan sangat “complicated” dengan alur cerita yang  sebenarnya sederhana namun menjadi rumit dan sukar dipahami karena tujuan dari buku tersebut memang ingin merefleksikan bagaimana kehidupan “rumit” itu sendiri berjalan. Dengan kata lain cerita dan karakter yang complicated sukses menghasilkan alur yang complicated pula.

Saya membagi isi cerita novel tersebut kedalam tiga bagian agar mudah dipahami dan dimengerti (namun dalam novel dibagi hanya dalam dua bagian). Bagian pertama berisikan pemikiran sang tokoh utama yang sampai sekarang saya tidak tau namanya karena tidak pernah disebutkan (sebut saja “Mels”). Bagian dua menceritakan tentang latar belakang dan kehidupan Mels dan bagian ketiga bercerita tentang kisah roman dan percintaanya.
Pada bagian pertama, Mels percaya bahwa ia sakit dan tidak tau mengapa ia sakit. Pikiranya dipenuhi dengan amarah dan keterpurukan meskipun ia merasa bahwa kemarahan tersebut adalah perasaan bahagia dan menyenangkan. Walaupun demikian, Mels adalah orang terpelajar yang tingkat kecerdasanya diatas rata-rata manusia namun ia memiliki kecenderungan untuk menarik diri dari kehidupan sosial. Sebut saja dia gila, karena memang ia tahu dan memahami bahwa manusia “waras” seperti kita akan menganggap dia gila dan dan tidak waras. Namun bagi Mels kewarasan-kewarasan yang terdefinisikan dalam kehidupan kita justru menjerumuskan kita pada kebodohan dan ketidak-warasan itu sendiri.

Mels kira-kira berusia 40 tahun dan selama 20 tahun telah menjalani kehidupan yang terasing. Ia dulu bekerja untuk negara dengan menjadi seorang pejabat. Mels berujar bahwa ia merupakan pejabat yang penuh rasa kesal dan kasar. Hal ini karena ia bersikap anti sogokan dan sebagai imbalanya ia mendapatkan cibiran, namun dia juga berujar bahwa dirinya sebenarnya orang yang melankolis. Ia hanya mengatakan dirinya kasar dan kesal sebagai bentuk kekesalanya karena tidak bisa menjadi kasar. Ia bahkan tidak bisa memahami dan tidak tahu dirinya seperti apa dan bagaimana. Ia mengatakan : “bukan saja aku tidak bisa menjadi orang yang kesal, aku bahkan tidak tahu caranya untuk menjadi apa pun jua, baik jadi orang yang kesal maupun ramah, jadi bajingan atau orang yang jujur, jadi pahlawan atau seekor serangga” (Dostoyevski 2016, hal : 5).
Mels memiliki tingkat kepekaan sosial yang tinggi, akibatnya kesadaran tentang kehidupan memproduksi pemikiran yang kritis dan menyiksa. Ia berujar bahwa ketika manusia terlalu peka dan sadar maka ia akan menjadi gila dan berpenyakitan pikiran. Oleh karena itu, untuk menjalani kehidupan yang normal sehari-hari, cukupkanlah hanya memiliki “kesadaran biasa” yang umumnya dimiliki oleh orang lain. Artinya semakin sedikit anda peka, peduli dan kritis pada kehidupan semakin bodoh dan bahagialah anda menjalani bahtera hidup ini. Mels merasakan kebahagiaan dan kenikmatan diluar “pakem” manusia “normal” pada umumnya. Ia merasakan kenikmatan paling dalam justru ketika mendapatkan keterpurukan dan tamparan keras dalam hidupnya. Ia mengatakan : “….bila mana aku ditampar, aku barang kali akan merasa senang. Aku dapat menemukan didalamnya semacam kenikmatan khusus, kenikmatan keputusasaan terutama ketika kita sadar bahwa keadaan kita tidak bisa tertolong lagi” (Dostoyevski 2016, Hal : 10).
Anda boleh tidak setuju dengan pemahaman Mels, namun faktanya sejarah mencatat bahwa peradaban manusia dibangun dari tragedi, perang dan pertumpahan darah dimana manusia merasakan perdamaian dan kenikmatan didalamnya. Jika perang merupakan sebuah bentuk kebengisan dan kesengsaraan, mengapa manusia justru menciptakan perang? Bukankah ini bukti bahwa perang merupakan sebuah kenikmatan, sama seperti apa yang dirasakan Mels sehingga mendorong kita melakukanya. Bagi Mels, Manusia cenderung merusak kebenaran dengan sengaja, dimana ia mengingkari kesaksian inderanya hanya untuk membenarkan logika. Pendeknya dahulu manusia melihat keadilan dalam pertempuran darah sehingga ia membunuh mereka yang patut dibunuh dengan hati dan sanubari yang damai. Namun sekarang pertumpahan darah kita sepakati sebagai bentuk kekejaman, tetapi sungguhpun begitu ternyata kita masih menikmati kekejian ini dan bahkan dengan kadar yang lebih besar.
Mels memiliki pemikiran bahwa pilihan dan kebebasan sebagai manusia itu tidak pernah ada. Hal ini karena manusia seringkali terperangkap pada kebodohanya sendiri dengan lebih mementingkan akal dari pada keinginan. Pada dasarnya “kebebasan” bersumber dari “keinginan” dan hasrat manusia. Namun keberadaan akal merusak keinginan kita sehingga kita terbelenggu dengan pemikiran kita dari pada membebaskan hasrat dan keinginan itu sendiri. Manusia cenderung memilih akal dari pada keinginan, hal inilah yang membuat manusia terkurung oleh hukum-hukum alam yang terseting sedemikian rupa menyerupai robot. Manusia kehilangan barang langkah satu-satunya yang membedakan dia dengan robot yakni “jiwa, hasrat dan keinginan”. Biarlah ia mirip dengan bianatang dari pada menjadi seorang robot yang terperangkap dalam akal dan hukum-hukum didalamnya, karena sesungguhnya kita adalah binatang yang berakal. Mels mengatakan : “..maka apa yang disebutkan keinginan itu akan tidak ada lagi. Karena jika keinginan bertentangan dengan akal, maka kita akan mempergunakan akal dan bukan keinginan. Karena adalah suatu hal yang mustahil untuk meniadakan akal kita dalam keinginan kita” (Dostoyevski 2016, Hal : 31).

Bagian dua novel ini menceritakan kehidupan sosial Mels yang berantakan. Diusianya yang menginjak 20 tahun, ia tidak memiliki teman sama sekali, ia memilih menunduk dan tidak berbicara. Ia memilih menjauh dari komunitas manusia dan menguburkan dirinya semakin dalam pada jurang kehidupan. Ia tau dan sadar bahwa teman-teman sejawatnya memandang dirinya aneh dan penuh kebencian. Ketika ia masih muda, ia pernah memiliki keinginan untuk berkawan dan bermasyarakat. Ia mencoba untuk membuat relasi persahabatan dengan teman sekolahnya. Namun entah kenapa hal itu selalu gagal dan justru membawa pada situasi tegang dan akhirnya hilang. Mels lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah untuk membaca. Baginya membaca menumbuhkan gairah dan kenikmatan sekaligus keperihan. Namun kadang ia merasa bosan dengan hanya membaca dan ia bergerak pada kehidupan bawah tanah yang gelap, busuk dan paling memuakkan. Ia takut dikenali orang, takut ditemui orang dan takut dilihat orang. Oleh karena itu ia suka mendatangi tempat-tempat gelap untuk menumpahkan hasratnya. Keinginanya untuk berbuat onar, mengumpat dan berkelahi adalah jalan untuk mencapai kenikmatan-kenimatan itu (Dostoyevski 2016, Hal : 58-82).

Tapi jangan salah paham dulu, maksud “bawah tanah” dalam novel ini bukanlah sebuah tempat dibawah tanah maupun di hutan tempat para tentara atau kelompok pemberontak melawan. Namun maksud bawah tanah itu sendiri adalah sisi “gelap” yang dimiliki manusia yang selama ini diabaikan, ditentang dan dilawan karena dianggap sebagai bentuk kejahatan dan kesalahan. Sisi gelap itu seperti kebusukan, amarah, dendam, iri, dengki, keinginan membunuh, memaki dan berkelahi dan semua hal yang berhubungan dengan sesuatu yang dianggap “buruk” oleh manusia normal. Kemunafikan ini membawa manusia pada kebodohan yang membuat ia tidak peka dan kehilangan kebebasan dan esensinya sebagai manusia. Padahal seyogyanya kehidupan bawah tanah merupakan sumber kenikmatan yang paling dalam sekaligus sumber kebebasan yang hakiki yang bisa didapatkan manusia. dan Mels memilih untuk hidup didalamnya.

Pada bagian ketiga sekaligus epilog dari novel ini, Mels menemukan sebuah perasaan ambivalen dimana ia merasa muak sekaligus hangat dari perasaan cinta pada saat bersamaan. Pada suatu hari ketika ia selesai menghadiri acara pesta dengan teman-temanya yang berakhir kericuhan dan pertengkaran dengannya, Mels bertemu dengan seorang perempuan tanpa sengaja. Perempuan itu bernama Liza. Ia memiliki kesamaan karakter dengan Mels oleh karena itu terjadi perasaan suka yang sudah lama tidak pernah dirasakanya. Mels mengatakan : “Lisa…sebuah wajah yang segar, muda agak pucat, dengan alis mata hitam lurus dan mata yang berat dan seakan bertanya-tanya, wajah itu segera menarik perhatianku…diwajahnya ada sebuah sifat yang baik dan bersahaja tetapi murung” (Dostoyevski 2016, Hal : 102-103).
Lisa adalah seorang gadis penghibur yang kabur dari rumahnya. karena keadaan itu Mels dengan sok bijak mengatakan bahwa kabur dari rumah hanyalah membuat manusia tidak berperasaan. Setidaknya itu yang Mels alami, dimana ia besar tanpa rumah sehingga ia menjadi tidak berperasaan. Percakapan Mels dengan Liza berlangsung sangat aneh. Liza selalu menjawab ala kadarnya dan Mels selalu bertanya. Dalam setiap pertanyaan dan jawaban selalu ada keheningan dan bisu selama 5 menit. Saking bergairahnya Mels dengan perempuan itu, ia memutuskan untuk meninggalkan sebuah alamat rumahnya agar suatu saat Liza dapat berkunjung dan hal itu yang Mels harapkan. Setibaya di Rumah Mels mengalami perasaan kacau dan gugup dimana ia percaya Liza akan datang mengunjunginya namun disisi lain ia memberontak dengan mengatakan persetan dan tidak mungkin Liza datang mengunjunginya.

Ending dari novel ini sangat muram. Liza benar-benar datang menemui Mels dan ia sangat panik dengan kedatangan Liza. Ia seolah malu dengan kondisinya dimana rumahnya berantakan, bajunya compang-camping dan kehidupanya sangat muram. Ia panik sepanik paniknya hingga ia murka dan menentang perasaan hangat yang ia rasakan dengan liza. Ia akhirnya memutuskan untuk memarahi dan menhina Liza agar terbebas dari perasaan buruk yang sedang membelenggunya. ia mengatakan pada gadis itu bahwa semua omong kosong dan perasaan yang terjadi ketika bertemu tempo lalu adalah kepalsuan dirinya dan kekesalan yang terjadi karena ia bertengkar dengan temanya seteah pesta. Perasaan Liza yang akan dibebaskan oleh Mels dari cengkraman yang membelenggunya adalah omong kosong sehingga Mels menertawakanya. Mels menyebut dirinya seorang penjahat, bajingan sehingga membuat sebuah perasaan ketersinggungan dan ketakutan pada diri Liza. Mels lalu mengusir Liza dari rumahnya. tapi entah kenapa Liza bisa memahami bahwa kemurkaan dan kebencian Mels bukan dibangun atas kebencian terhadap dirinya, namun itu sebuah jati diri dan jalan hidup seorang Mels yang entah bagaimana Liza menghargai keputusan itu.
“Jadi bukan mustahil, bahwa dalam diriku banyak tersimpan hidup daripada dalam diri anda. Perhatikanlah baik-baik, kita bahkan tidak tahu apa yang kini dimaksud hidup itu, apa ia sebenarnya, dan apa namanya. ..kita tidak akan tau kemana akan berpihak, pada apa akan berpegang, apa yang harus kita cintai, apa yang harus kita benci, apa yang harus kita hormati dan apa yang harus kita hina. Kita merasa tertekan karena menjadi manusia…tidak lama lagi kita akan berusaha entah dengan cara bagaimana supaya lahir dari sebuah ide. Tapi sudahlah, aku tidak mau lagi menulis dari bawah tanah. Catatan ini tidak berakhir di sini, tapi untuk kita cukuplah kalau kita berhenti disini”.Sumber : kopiepagi.

PEI download



Selamat membaca!***

Komentar

Popular Post

Dunia Kafka karya Haruki Murakami

A Man Called Ove - Fredrik Beckman

Nagasasra dan Sabuk Inten - SH Mintardja