Bukan Pasar Malam - Pramoedya Ananta Toer

Bukan Pasar Malam

Judul                     : Bukan Pasar Malam
Penulis                  : Pramoedya Ananta Toer
No. ISBN               : 9789793820033
Penerbit                : Lentera Dipantara
Tanggal terbit       : 2006
Jumlah Halaman : 104
Kategori                : Sejarah Fiksi


SINOPSIS
Perjalanan seorang anak revolusi yang pulang kampung karena ayahandanya jatuh sakit. Dari seputaran perjalanan itu, terungkap beberapa potong puing gejolak hati yang teka pernah teranggap dalam gebyar-gebyar revolusi.
Dikisahkan bagaimana keperwiraan seseorang dalam revolusi pada akhirnya melunak ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari: ia menemukan ayahnya yang seorang guru yang penuh bakti tergolek sakit karena TBC, anggota keluarganya yang miskin, rumah tuanya yang sudah tidak kuat lagi menahan arus waktu, dan menghadapi istri yang cerewet.
Berpotong-potong kisah itu diungkapkan dengan sisa-sisa kekuatan jiwa yang berenangan dalam jiwa seorang mantan tentara muda revolusi yang idealis. Lewat tuturan yang sederhana dan fokus, tokoh “aku” dalam roman ini tidak hanya mengritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjuk muka para jendral atau pembesar negeri paskakemerdekaan yang hanya asyik mengurus dan memperkaya diri sendiri.
SKOR ★★★★
KESAN SAYA
Bukunya tipis, tapi isinya kayak intisari hidup. 
Seperti biasa buku ini disampaikan, dengan gaya sastrawan lekra.
Sastrawan lekra adalah jenis sastrawan yg digolongkan pada masa Orde Lama-Baru yang menulis berdasar realis-sosialis. Condong ke arah gerakan protes pena, adakalanya melakukan penolakan ideologi ataupun tata pemerintahan lewat tulisan.
Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan lekra di Indonesia, berlawanan dengan sastrawan beraliran manikebu(manifestasi kebudayaan) yg lebih menampilkan idealisme bangsa.
Buah karya Pram, sastrawan lekra lain sering dihubungkan dgn ideologi Kubu Timur alias komunis. Nah di buku ini juga ada kata-kata yang leh-uga intinya kalau di dunia demokrasi orang bisa bebas-dibatasi hukum, orang bisa mengeluarkan pendapat, tapi demokrasi juga jahat bikin yang kere cuma bisa ngiler lihat orang kaya. Yah, walaupun gitu tapi saya suka pak Pram sih, dia toh cuma menyampaikan realita menurut sudut pandang dia. 
Cerita buku ini, ada anak laki-laki yang memustuskan jadi bagian dari pejabat waktu masih jaman-jaman Indonesia baru merdeka dulu. Si anak ini tinggalnya di Jakarta. Di kampungnya di Blora, dia punya bapak yang sudah hampir mewajahi maut, sakit TBC akut sama muntah darah. Nah, si anak ini benci banget, bukan, lebih tepatnya benci bingits sama orangtuanya karena si Bapak dulunya jadi salah satu kepercayaan koloni. Padahal bapaknya ngelakuin itu buat mempermudah jalan bagi orang-orang pribumi. Contohnya aja, kayak perizinan buat bangun sekolah kambing buat orang-orang di desa situ, dsb.
Nah, pada suatu hari si anak dapet telegram kalo bapaknya udah sekarat dan rumahnya mau ambruk. Akhirnya dia pulang walaupun istrinya yang orang Sunda bawel banget, perhitungan, selain itu rewel kayak anti desa. Adeknya si tokoh banyak banget saking banyaknya saya gak tahu berapa, tipikal orang jaman dulu lah gak ada KB. Kecuali ada 2 yang sering diceritakan, yang paling kecil pendiam dan hobi nangis sama adek ceweknya yang juga sakit parah(<- dia juga nyalahin bapaknya adeknya sakit).
Intinya dia sadar, gimanapun orangtuanya itu tetep orangtuanya. Selama ini dia terlalu picik mikir orantuanya bantu koloni, padahal orangtuanya juga ikut membantu memerdekakan Indonesia, meski lewat jalur yang kotor. Dia selama ini sebel karena selama perang itu, dia-ibu-adeknya ditinggal gitu aja miskin, lapar…sampai ibunya meninggal.
Sebernya dia sebel karena bapaknya selalu menomorsatukan kebahagiaan orang-orang lain daripada keluarganya sendiri.
Dia akhirnya sadar karena orang sekitar banyak banget yang melawat bapaknya waktu mati, selama sakit memang gak ada yang jenguk karena sebetulnya bapaknya yg melarang. Bapaknya sangat disegani dan baru terasa ketika meninggal.

Baca juga : Saraswati si Gadis Dalam Sunyi - AA Navis
Ingat, ingat, ingat, yang dituai yang ditabur. Kadangkala apa yang terlihat mata belum tentu yang sebenarnya, seperti yang dirasa hati.
Sumber : sampanbiru

PEI download

Selamat membaca!***

Komentar

Popular Post

Dunia Kafka karya Haruki Murakami

A Man Called Ove - Fredrik Beckman

Nagasasra dan Sabuk Inten - SH Mintardja