Mantra Penjinak Ular - Kuntowijoyo
Mantra Penjinak Ular

‘Mantra Pejinak Ular’ mengisahkan kehidupan Abu Kasan Sapari, seorang pegawai kecamatan di kaki gunung Lawu yang juga merupakan seorang dalang wayang yang handal dan kreatif dalam menghadapi sebuah kemelut politik tingkat desa. Abu yang tidak memiliki pengalaman ataupun hasrat untuk berpolitik justru menemukan dirinya di tengah-tengah badai pertarungan politik di daerahnya karena kemampuannya mendalang. Meski ‘pertarungan’ politik itu tidak diceritakan secara gamblang dan terekspos secara terbuka, namun dengan beragam perlambang yang digunakan Kuntowijoyo, tetap terasa intrik-intrik yang dilancarkan pihak tertentu untuk memuluskan jalannya mencapai kemenangan politis.
Kuntowijoyo yang terlahir sebagai seorang Jawa dan menyadari sepenuhnya kejawaannya menuliskan kisah ini dengan nuansa Jawa yang kental. Tema surealistik yang terkesan mistis berpadu dengan spiritualisme Islam yang berakulturasi dengan budaya Jawa semakin tampak pada fragmen dimana Abu mendapatkan kemampuan mantra pejinak ular dari seorang kakek tua yang belum pernah dikenalnya. Kemampuan itu barangkali sempat dianggapnya sebagai kutukan karena sebisa mungkin ia harus melindungi ular-ular dan harus menguburkan bangkai ular yang ia temukan sehingga tentu perilaku demikian dianggap aneh dan beraroma klenik bagi masyarakat sekitar. Tetapi kemampuannya menjinakkan ular, dipadu dengan kemahirannya mendalang dan kreativitasnya dalam memecahkan masalah yang justru membuatnya cukup dikenal dan menjadi salah satu pegawai kecamatan yang terpandang. Penceritaan Abu yang mendapatkan mantra pejinak ular barangkali merupakan suatu alegori atau dapat pula dianggap sebagai sebuah red herring, yaitu suatu fragmen cerita yang bisa mengarahkan pembaca membuat pembaca terdistraksi dan teralihkan dari konflik cerita yang sesungguhnya.
Juga layaknya pribadi Jawa pada umumnya dan seperti istilah yang pernah dikemukakan Kuntowijoyo di berbagai karyanya sebelumnya, kisah ini tidak diceritakan secara tok-leh, secara lugas apa adanya, tetapi lebih banyak digunakan perlambang, metafora, dan perumpamaan. Perumpamaan tersebut muncul pada saat Abu menayangkan lakon-lakon wayang dengan sindiran yang ‘mengena’ sesuai perkembangan pertarungan politik yang terjadi di desanya, yang juga membuatnya dimutasi ke kecamatan lain karena aktivitasnya yang membahayakan pihak tertentu. Pendekatan yang sama juga dilakukan saat penulis mengisahkan hari-hari menjelang runtuhnya Orde Baru, yang tentu saja maksudnya dapat dipahami pembaca yang memahami sejarah negeri ini.
“Lalu, pada suatu malam di musim kemarau, hujan lebat – oleh masyarakat dinamakan hujan salah musim – itu datang disertai angin ribut. Pagi hari, hujan dan angin reda. Orang-orang keluar ke terminal. Beringin itu tumbang! Pohon yang selama ini tegak menghadapi musim hujan dan angin itu terbujur, akar-akarnya mencuat di atas tanah…”
Maka, karya ini menjadi berbeda dengan novel-novel lain yang berkisah seputar kehidupan di masa Orde Baru yang menekankan pada penelusuran sejarah yang kontekstual (terutama berkaitan dengan orang-orang golongan kiri) dengan karakter utama yang heroik yang memiliki satu tujuan pasti (tengok karakter Dimas Suryo pada ‘Pulang’, atau tokoh Amba, Saman, dan Larung). ‘Mantra Pejinak Ular’ lebih menampilkan keadaan sosial-politik di tingkat mikro yang terjadi pada masyarakat pedesaan yang masih tradisional. Prosa ini dapat dianggap sebagai suatu potret keadaan sosial-masyarakat di zaman tersebut yang dapat menjadi cermin bagi keadaan bangsa secara keseluruhan.(abighifari)
Selamat membaca!***
Komentar